Cerita ini diambil dari kisah nyata yang sedikit dirubah untuk
kepentingan publikasi. Mohon maaf jika cerita ini agak lebay. Atau bahkan
mengarah ke alay. Tapi percayalah. Bahwa ini adalah memori yang terkenang
sepanjang masa.
Java Tour
Amat masih ingat betul ketika itu.
Ia hanyalah seorang anak yang tidak banyak tahu, bahkan hanya untuk sekadar menghidupkan
komputer.
Ia lahir dan tinggal di sebuah pulau kecil. Yang kalau dilihat dari
peta jaman dulu –sebelum ada google maps-- pulau itu seperti sebuah titik
kecil. Pulau Tarakan namanya.
Amat juga seorang mahasiswa yang
duduk di bangku kuliah. Tepatnya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP). Di Universitas Borneo Tarakan (UBT). Jurusan Matematika.
Seorang
mahasiswa biasa. Grade kecerdasannya pun hanya rata-rata seperti mahasiswa pada
umumnya.
Kalau kuliah selalu hadir,
tetapi tidak selalu mengerti apa yang dosennya sampaikan. Yang paling penting
adalah mengisi absensi. Kalau dapat nilai B di setiap semester saja sudah
senang.
Intinya Amat tidak tahu apa yang
akan terjadi dengannya di masa depan. Ya kalau kata orang bijak; mengalir saja.
Itu yang Ia pahami dulu, dan mungkin sampai sekarang.
Semua itu berjalan terus
sampai datang waktu baginya untuk memulai perjalanan piau –menurut anak Tarakan artinya sembarangan.
Perjalanan itulah yang merubah mindset Amat sebagai seorang mahasiswa UBT.
Almamater yang Ia banggakan ketika itu. Bahkan sampai sekarang.
Tentang hidup
yang katanya keras. Tentang hidup yang bagi sebagian orang adalah tidak mudah.
Cerita itu berawal dari salah satu
temannya di DSC (nama group atau sebuah kumpulan) yang mengajak Amat dan
beberapa temannya melakukan Java Tour.
Jalan-jalan melintasi
pulau Jawa untuk mengunjungi teman-temannya yang berkuliah di sana.
Group yang bernama DSC itu masih tidak
jelas artinya bagi Amat; apakah “Depan Sekolah Community” atau “Depan School
Community” atau ada arti lainnya yang Ia tidak tahu.
Sampai sekarang pun Amat tidak
tahu. Intinya DSC itu kumpulan anak-anak absurd yang sedang mengejar
cita-citanya.
Singkatnya mereka harus
mengumpulkan uang yang jumlahnya tidak sedikit untuk pergi dari Pulau Tarakan,
menuju ke Pulau Jawa.
Mereka yang tergabung di DSC melakukan rembuk kecil-kecilan
yang cukup serius. Segala informasi kala itu disalurkan lewat group Line –yang waktu
itu lagi hits di tahun 2015.
Jadilah beberapa kesepakatan yang
didapat usai rembuk itu. Ada yang berencana jualan. Juga ada yang berusaha mengumpulkan
uang jajan dari orang tuanya.
Demi biaya tiket pesawat. Amat dan Aji –temannya di
DSC— berjualan di forum jual belinya Facebook yang sudah tenar sejak lama itu.
Yang Amat dan Aji jual beragam;
mulai dari mesin cuci bekas, kulkas, dan barang bekas lain yang orang tua mereka
punya.
Amat pun sempat menjual seluruh ikan lele di kolam rumahnya pada waktu
itu. Sekali lagi demi menggapai impian. Melintasi pulau Jawa yang terkenal itu.
Dari hasil berjualan dan mengemis
ke orang tua waktu itu, akhirnya terbelilah tiket menuju ke Jakarta.
Perjalanan
dimulai. Pada hari Jumat, 6 November 2015. Mereka berangkat berlima. Amat, Aji,
Iwan, Ical, dan Dede.
Sebagai seorang manusia yang
tidak pernah ke Jakarta, Amatlah yang sedikit paling udik –kampungan—.
Bahkan karena ke-udik-an itu tidak jarang teman-teman Amat tertawa dibuatnya. Saat tiba di Bandar Udara
Internasional Soekarno-Hatta. Jakarta. Terasa sekali hawa yang sangat panas.
Saat
itu tidak terlihat matahari. Hanya sinarnya saja. Tapi itu saja sudah cukup
membuat badan terasa lengket karena keringat.
Berbeda dengan di Tarakan. Yang
walaupun panas terik sekalipun, tetapi masih ada udara sejuk. Kadang itu juga membuat
anak Tarakan yang merantau ke luar daerah selalu rindu akan kampung halamannya.
Dari kejauhan tampak seorang
teman yang melambaikan tangannya kepada mereka. Namanya Jojo Brahama. Dipanggil
Jojo.
Jojo sedang menempuh pendidikan kedokteran gigi di Jakarta. Ia seorang
diri menjemput temannya dari Tarakan itu dengan mobil Masda kecilnya.
Saking
udiknya— sampai-sampai Amat kira itu mobil Honda Jazz, yang dahulu Ia bermimpi
untuk memilikinya.
Namun saat itu Amat tak perduli kendaraannya
apa. Yang terpenting adalah Ia bisa jalan-jalan keliling Jakarta. Itu yang ada
di benaknya. Jadilah mereka berdesak-desakan di dalam mobil kecil berkapasitas empat
orang, tapi diisi enam orang. Lengkap dengan barang bawaannya masing-masing.
Jojo sat itu hanya bisa bergumam;
semoga Polisi tidak melihat mereka. Karena jika terkena razia dan ditilang
polisi, matilah Ia dimarahi orang tuanya.
Puas berkeliling dan berfoto di Monas.
Mereka menyempatkan jumatan di Masjid Istiqlal Jakarta. Kemudian mereka bertolak ke
Bandung. Di Bandung, mereka berkeliling lagi. Bertemu dengan salah seorang sahabat
yang saat itu berstatus Taruna. Zawin namanya.
Saat itu Zawin sedang menempuh pendidikan di
Akademi Polisi (Akpol). Sekarang dia ditugaskan di perbatasan Papua.
Gaya salaman itu disebut
Salam Jomblo. Amat juga bertemu Zainal. Teman satu sekolahnya di SMP Negeri 2 dan SMA
Negeri 1 Tarakan.
Mereka menghabiskan waktu lebih dari sehari untuk jalan-jalan
di Bandung. Kemudian bertolak ke Jogjakarta menggunakan kereta api.
Di Jogjakarta (Jogja). Secara istimewa
ketika baru keluar dari stasiun kereta api, mereka dijemput rombongan temannya
dari Tarakan yang saat itu berkuliah di sana.
Bagai konvoi geng motor. Ramai
sekali. Ada Afif, Judika --dipanggil Cameng. Ada juga Dilan yang di kosannya
kami tinggal selama beberapa hari. Tepatnya di Kaliurang.
Kemudian ada juga Didit, Rangga, Elang,
Bayu, dan Ricky. Masing-masing kami ikut berboncengan dengan mereka.
Di situ Amat
merasa terharu. Ia punya banyak teman di luar Tarakan. Bahkan di Jogja yang
jauh sekalipun. Bukan sedarah. Namun rasanya lebih dari saudara. Rasanya bangga
punya teman-teman yang kuliah di sana.
Dari Jogja pula mulai terbuka mindset-nya. Bahwa Ia tidak ada
apa-apanya. Banyak hal yang bisa dipelajari. Ia dapatkan filosofi dan esensi tentang
berkarya. Hanya manusia yang membatasi, tidak dengan karyanya. Sungguh senang
rasanya.
Baru sampai di Jogja, Amat dan rombongan Java Tour langsung
dibawa ke angkringan –penjual makanan di kaki lima yang menjamur di Jogja pada
waktu itu. Tidak tahu kalau sekarang.
Sempat ada cerita konyol di sana. Amat yang
waktu itu masih terkesima dengan kondisi dan kehidupan di Jogja –maklum lah baru
pertama kali ke sana-- langsung disodorkan menu angkringan.
“Mau pesan apa mas,” tanya
penjualnya.
“Nah... kalian pesan duluan,”
kata Cameng sambil menyodorkan menu yang diberikan oleh penjualnya tadi. Semua
membaca menu dengan saksama. Termasuk Amat.
Angkringan Jogja memang terkenal
dengan mie telurnya yang melegenda saat itu. Murah-meriah lagi.
“Aku mie goreng telur,” Ical
pertama memesan.
“Aku mie goreng telur rebus
goreng,” ujar Amat dengan mantap. Sontak ucapannya itu membuat
tertawa ngakak teman-temannya. Karena memang di sana hanya tersedia mie rebus
telur goreng. Atau mie goreng telur saja.
Tidak ada mie goreng telur rebus
goreng yang Ia maksudkan.
Entahlah apa yang ada di
pikiran Amat waktu itu. Ia saja masih bingung sampai sekarang. Kenapa memesan mie goreng telur rebus goreng.
Bersambung – Part 2
No comments:
Post a Comment