Saturday, April 25, 2020

Part 1

Cerita ini diambil dari kisah nyata yang sedikit dirubah untuk kepentingan publikasi. Mohon maaf jika cerita ini agak lebay. Atau bahkan mengarah ke alay. Tapi percayalah. Bahwa ini adalah memori yang terkenang sepanjang masa.

Java Tour


Amat masih ingat betul ketika itu. Ia hanyalah seorang anak yang tidak banyak tahu, bahkan hanya untuk sekadar menghidupkan komputer.


Ia lahir dan tinggal di sebuah pulau kecil. Yang kalau dilihat dari peta jaman dulu –sebelum ada google maps-- pulau itu seperti sebuah titik kecil. Pulau Tarakan namanya.


Amat juga seorang mahasiswa yang duduk di bangku kuliah. Tepatnya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Di Universitas Borneo Tarakan (UBT). Jurusan Matematika.


Seorang mahasiswa biasa. Grade kecerdasannya pun hanya rata-rata seperti mahasiswa pada umumnya.


Kalau kuliah selalu hadir, tetapi tidak selalu mengerti apa yang dosennya sampaikan. Yang paling penting adalah mengisi absensi. Kalau dapat nilai B di setiap semester saja sudah senang.


Intinya Amat tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya di masa depan. Ya kalau kata orang bijak; mengalir saja. Itu yang Ia pahami dulu, dan mungkin sampai sekarang.


Semua itu berjalan terus sampai datang waktu baginya untuk memulai perjalanan piau –menurut anak Tarakan artinya sembarangan. 


Perjalanan itulah yang merubah mindset Amat sebagai seorang mahasiswa UBT. Almamater yang Ia banggakan ketika itu. Bahkan sampai sekarang.


Tentang hidup yang katanya keras. Tentang hidup yang bagi sebagian orang adalah tidak mudah.


Cerita itu berawal dari salah satu temannya di DSC (nama group atau sebuah kumpulan) yang mengajak Amat dan beberapa temannya melakukan Java Tour.


Jalan-jalan melintasi pulau Jawa untuk mengunjungi teman-temannya yang berkuliah di sana.


Group yang bernama DSC itu masih tidak jelas artinya bagi Amat; apakah “Depan Sekolah Community” atau “Depan School Community” atau ada arti lainnya yang Ia tidak tahu.


Sampai sekarang pun Amat tidak tahu. Intinya DSC itu kumpulan anak-anak absurd yang sedang mengejar cita-citanya. 


Singkatnya mereka harus mengumpulkan uang yang jumlahnya tidak sedikit untuk pergi dari Pulau Tarakan, menuju ke Pulau Jawa.


Mereka yang tergabung di DSC melakukan rembuk kecil-kecilan yang cukup serius. Segala informasi kala itu disalurkan lewat group Line –yang waktu itu lagi hits di tahun 2015.


Jadilah beberapa kesepakatan yang didapat usai rembuk itu. Ada yang berencana jualan. Juga ada yang berusaha mengumpulkan uang jajan dari orang tuanya.


Demi biaya tiket pesawat. Amat dan Aji –temannya di DSC— berjualan di forum jual belinya Facebook yang sudah tenar sejak lama itu.


Yang Amat dan Aji jual beragam; mulai dari mesin cuci bekas, kulkas, dan barang bekas lain yang orang tua mereka punya.


Amat pun sempat menjual seluruh ikan lele di kolam rumahnya pada waktu itu. Sekali lagi demi menggapai impian. Melintasi pulau Jawa yang terkenal itu.


Dari hasil berjualan dan mengemis ke orang tua waktu itu, akhirnya terbelilah tiket menuju ke Jakarta.


Perjalanan dimulai. Pada hari Jumat, 6 November 2015. Mereka berangkat berlima. Amat, Aji, Iwan, Ical, dan Dede.
Sebagai seorang manusia yang tidak pernah ke Jakarta, Amatlah yang sedikit paling udik –kampungan—.

Bahkan karena ke-udik-an itu tidak jarang teman-teman Amat tertawa dibuatnya. Saat tiba di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Jakarta. Terasa sekali hawa yang sangat panas.


Saat itu tidak terlihat matahari. Hanya sinarnya saja. Tapi itu saja sudah cukup membuat badan terasa lengket karena keringat. 


Berbeda dengan di Tarakan. Yang walaupun panas terik sekalipun, tetapi masih ada udara sejuk. Kadang itu juga membuat anak Tarakan yang merantau ke luar daerah selalu rindu akan kampung halamannya.


Dari kejauhan tampak seorang teman yang melambaikan tangannya kepada mereka. Namanya Jojo Brahama. Dipanggil Jojo.


Jojo sedang menempuh pendidikan kedokteran gigi di Jakarta. Ia seorang diri menjemput temannya dari Tarakan itu dengan mobil Masda kecilnya.


Saking udiknya— sampai-sampai Amat kira itu mobil Honda Jazz, yang dahulu Ia bermimpi untuk memilikinya. 
Namun saat itu Amat tak perduli kendaraannya apa. Yang terpenting adalah Ia bisa jalan-jalan keliling Jakarta. Itu yang ada di benaknya.


Jadilah mereka berdesak-desakan di dalam mobil kecil berkapasitas empat orang, tapi diisi enam orang. Lengkap dengan barang bawaannya masing-masing.


Jojo sat itu hanya bisa bergumam; semoga Polisi tidak melihat mereka. Karena jika terkena razia dan ditilang polisi, matilah Ia dimarahi orang tuanya.


Puas berkeliling dan berfoto di Monas. Mereka menyempatkan jumatan di Masjid Istiqlal Jakarta. Kemudian mereka bertolak ke Bandung. Di Bandung, mereka berkeliling lagi. Bertemu dengan salah seorang sahabat yang saat itu berstatus Taruna. Zawin namanya.


Saat itu Zawin sedang menempuh pendidikan di Akademi Polisi (Akpol). Sekarang dia ditugaskan di perbatasan Papua.

Mereka juga bertemu Edy. Teman Amat yang sejak di bangku SMA dulu punya salaman khas dengannya.

Gaya salaman itu disebut Salam Jomblo. Amat juga bertemu Zainal. Teman satu sekolahnya di SMP Negeri 2 dan SMA Negeri 1 Tarakan.


Mereka menghabiskan waktu lebih dari sehari untuk jalan-jalan di Bandung. Kemudian bertolak ke Jogjakarta menggunakan kereta api.


Di Jogjakarta (Jogja). Secara istimewa ketika baru keluar dari stasiun kereta api, mereka dijemput rombongan temannya dari Tarakan yang saat itu berkuliah di sana.


Bagai konvoi geng motor. Ramai sekali. Ada Afif, Judika --dipanggil Cameng. Ada juga Dilan yang di kosannya kami tinggal selama beberapa hari. Tepatnya di Kaliurang.


Kemudian ada juga Didit, Rangga, Elang, Bayu, dan Ricky. Masing-masing kami ikut berboncengan dengan mereka.


Di situ Amat merasa terharu. Ia punya banyak teman di luar Tarakan. Bahkan di Jogja yang jauh sekalipun. Bukan sedarah. Namun rasanya lebih dari saudara. Rasanya bangga punya teman-teman yang kuliah di sana.

Dari Jogja pula mulai terbuka mindset-nya. Bahwa Ia tidak ada apa-apanya. Banyak hal yang bisa dipelajari. Ia dapatkan filosofi dan esensi tentang berkarya. Hanya manusia yang membatasi, tidak dengan karyanya. Sungguh senang rasanya.


Baru sampai  di Jogja, Amat dan rombongan Java Tour langsung dibawa ke angkringan –penjual makanan di kaki lima yang menjamur di Jogja pada waktu itu. Tidak tahu kalau sekarang.


Sempat ada cerita konyol di sana. Amat yang waktu itu masih terkesima dengan kondisi dan kehidupan di Jogja –maklum lah baru pertama kali ke sana-- langsung disodorkan menu angkringan.


“Mau pesan apa mas,” tanya penjualnya.


“Nah... kalian pesan duluan,” kata Cameng sambil menyodorkan menu yang diberikan oleh penjualnya tadi. Semua membaca menu dengan saksama. Termasuk Amat.


Angkringan Jogja memang terkenal dengan mie telurnya yang melegenda saat itu. Murah-meriah lagi.  


“Aku mie goreng telur,” Ical pertama memesan.


“Aku mie goreng telur rebus goreng,” ujar Amat dengan mantap. Sontak ucapannya itu membuat tertawa ngakak teman-temannya. Karena memang di sana hanya tersedia mie rebus telur goreng. Atau mie goreng telur saja.


Tidak ada mie goreng telur rebus goreng yang Ia maksudkan. 
Entahlah apa yang ada di pikiran Amat waktu itu. Ia saja masih bingung sampai sekarang.


Kenapa memesan mie goreng telur rebus goreng.


Bersambung – Part 2

No comments:

Post a Comment