Thursday, June 4, 2020

Part 2

Cerita ini diambil dari kisah nyata yang sedikit dirubah untuk kepentingan publikasi. Mohon maaf jika cerita ini agak lebay. Atau bahkan mengarah ke alay. Tapi percayalah. Bahwa ini adalah memori yang terkenang sepanjang masa.


Keliling Jogja


Rombongan tour itu masih di Jogja. Dan memang --saat tour ke Jawa-- mereka paling lama berada di Jogja. Kasihan Raden harus menampung Amat dan rombongan yang bikin penuh kamar kost-nya itu.


Tapi ya sudahlah. Raden terlihat senang-senang saja. Rombongan pun senang menginap di sana. Melanjutkan perjalanan berkeliling Jogja. Ke Museum keraton Jogja, Situs Tamansari, Parangtritis, Alun-alun Jogja, hingga Mall JCM pun didatangi.


Amat juga disambangi oleh temannya Supiana. Dia berkuliah di Solo yang jaraknya sekitar satu jam dari Jogja. Cukup jauh untuk seorang teman yang ingin bertemu teman sekampung halamannya.


Sehari jalan-jalan di Jogja rasanya masih kurang puas. Harus beberapa hari. Karena tempat wisata yang terkenal di Jogja itu tidak melulu ada di pusat jogja. Harus rela berjalan jauh.


Seperti Candi Borobudhur misalnya. Terkenalnya berada di Jogja. Tapi kenyataannya dari Jogja sendiri membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai ke sana.


Amat dan teman-temannya bahkan sampai pergi ke Kota Semarang yang jarak tempuhnya kurang lebih tiga jam --kalau menggunakan motor--. Mereka memang haus jalan-jalan ketika sudah berada di Pulau Jawa. Karena itu memang tujuan mereka ke sana.


Saking jauhnya berkelana, sangat terasa lelahnya. Pernah ada cerita menggelikan yang terjadi di Semarang. Tepatnya ketika baru selesai berkeliling di sana.


Karena sampai di Semarang rombongan jalan-jalan ke Lawang Sewu, kemudian ke Masjid Agung jawa Tengah. Tidak terasa sampai malam di jalanan.


Namanya backpaker –hanya membawa tas yang digendong saja— yah tidak ada tempat istirahat untuk sekadar melepas penat dengan berbaring.


Sedangkan tubuh rasanya pegal semua karena lelah seharian jalan kesana-kemari. Sampai akhirnya mereka mendapat tempat untuk sekadar duduk dan melepas penat.


Di sebuah taman. Di tengah Kota Semarang. Yang lainnya asik duduk dan bercerita. Amat yang sedari tadi sudah tidak tahan karena kelelahan, langsung berbaring di pinggiran taman itu.


Amat sudah tidak perduli lagi dengan teman-temannya yang asik bercerita. Dan memang saat itu badannya terasa sangat nyaman ketika merebahkan diri.


Sungguh nikmat. Serasa tulang belakang yang bengkok seharian langsung lurus seketika. Saking nyamannya, Amat pun tertidur pulas.


Kondisi itu tidak disia-siakan oleh teman-temannya. Jadi peluang menjahili Amat yang saat itu tertidur pulas. Sekadar mencari tawa.


Amat sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Ia sadar setelah seorang gadis berparas cantik berkulit putih memanggilnya.


Walaupun saat malam, tetapi penerangan di sana cukup baik untuk menerawang paras gadis itu. Bagai mimpi. Amat sampai tidak ingat Ia sedang ada di mana.


“Mas, mas, mas... bangun mas.” ujar gadis itu. Amat yang waktu itu masih setengah sadar dan larut dalam lelapnya tidur menjadi terkaget.


“Ada apa mbak,” tanya Amat refleks.


“Itu teman-temannya sudah pada pergi mas,” ujar gadis itu lagi. Amat langsung menoleh ke kanan dan kiri. Ia mulai panik.


“Loh kemana teman-teman saya mbak,” tanya Amat kembali. Gadis itu menunjuk ke arah mereka pergi. Mungkin bagi kalian yang membaca cerita ini dapat membayangkan. Betapa paniknya Amat saat itu.


Mengingat hanya sebatang kara di sana (Semarang). Keluarga pun tidak punya. Bahkan uang yang dimiliki sudah hampir habis untuk biaya makan selama perjalanan.


Sampai-sampai tidak terpikirkan pada saat itu kalau Ia punya handphone yang lengkap dengan pulsa yang terisi cukup untuk menelepon teman-temannya.


Maklum. Karena Amat saat itu masih terlalu lugu. Mungkin itu bahasa yang tepat untuk menggambarkan suasana hatinya yang panik pada saat itu.


Pernah juga, saking polosnya —tidak ingat apakah waktu itu Ia polos, bodoh, atau kurang pengalaman -- terjadi kisah menggelikan lainnya.


Suatu ketika, usai berjalan-jalan dan singgah di rumah makan sekitar Universitas Diponegoro (Undip). Karena rumah makan tersebut berada dekat Kampus, maka lumayan banyaklah mahasiswa yang makan di sana.


Mari samakan persepsi terlebih dahulu. Bagi Anda yang berkuliah di Tarakan dan jarang sekali ke luar daerah pasti akan mudah melakukannya. Coba bayangkan hidup sehari-hari hanya melihat orang Tarakan saja. Kemudian tiba-tiba pergi ke daerah Jawa.


Cobalah pergi ke perkotaan atau di dekat kampus. Pastilah Anda kagum dengan kecantikan mahasiswa yang ada di sana. Itulah yang terjadi pada Amat. Melihat orang dengan gaya bicara yang berbeda, warna kulit berbeda. Kebanyakan gadis di sana kulitnya putih. Tutur kata yang berbeda.


Apalagi di Jawa tengah yang notabene bahasanya halus. Garis wajah yang berbeda pula. Perempuan tanah Jawa terkenal ayu. Pasti jelas berbeda dengan di Tarakan.


Jika presepsi kita sudah sama, mari kita lanjutkan membaca paragraf berikutnya. Jika belum silahkan baca ulang untuk menyamakan presepsi. Terima kasih.


Kemudian Iwan dan Ical melemparkan challenge (tantangan) pada Amat.


“Mat... coba kamu minta nomor cewek itu," sembari menunjuk ke arah cewek yang paling cantik di antara kerumunan gadis yang sedang makan di seberang meja kami.


“Kalau kamu berhasil dapat nomornya, kami traktir dan belikan hadiah yang kamu mau lah,” ujar Ical yang didukung oleh Iwan di sampingnya.


“Iya mat... Beranikah kau,” timpal Iwan.


Mari kita kembali samakan presepsi. Coba bayangkan Amat yang kondisinya waktu itu kehabisan uang. Kemudian mendapat tawaran yang menggiurkan. Dan Ia berpikir waktu itu; siapalah seorang Amat. Biar saja malu. Toh tidak ada yang kenal juga.


Yang terpenting saat itu adalah Ia bisa dapat makanan gratis sekaligus membeli hadiah yang Ia mau. Tak terbesit rasa curiga pada Ical dan Iwan yang saat itu mungkin hanya berniat lucu-lucuan.


Mungkin juga mereka pikir Amat tidak berani. Sehingga Amat mau-mau saja. Jadi challange itu langsung diamini dan dikerjakan oleh Amat.


Sedari tadi para gadis itu sudah tidak nyaman dengan gelagat kami yang melihat ke arahnya. Mungkin juga mereka dengar apa yang kami bicarakan. Tentang challange itu. Dengan segera Amat datang dan menghampiri segerombolan gadis yang makan di seberang meja mereka.


Tapi ada kejanggalan di sana. Perlu diketahui, pada saat itu posisi warung makan tersebut adalah lesehan. Tidak perlu berdiri dari tempat duduk. Posisi mereka --rombongan gadis itu—sangat dekat. Cukup ngesot saja sudah bisa bergabung dengan para gadis itu. Jadilah saat itu Amat betul-betul ngesot ke meja tempat mereka makan.


“eee... Permisi mbak,” ujar Amat sambil tergagap.


Gugup karena hal se-gila itu baru pertama kali Ia lakukan. Seketika para gadis yang asik ngobrol dan tertawa sebelumnya langsung hening. Salah satu gadis langsung bertanya kepada Amat dengan ketus.


“Kenapa mas. Ada perlu apa ya,” tanyanya dengan nada marah. Mungkin dia sudah tahu apa tujuan Amat waktu itu. Amat yang sudah menduga hal itu bertambah gugup dan berpikir entah punya ilmu apa gadis itu sampai-sampai bisa tahu kalau Amat ingin minta nomor hanphone (HP) temannya.


“eee...,” hanya itu kata yang mampu keluar dari mulut Amat. Seolah buntu dan terdesak.


“Enggak mas... Sudah ya. Kami enggak mau kasih,” jawabnya ketus. Seketika Amat bagai disambar petir. Langsung pucat pasi. Tak tahu mau ngomong apa. Kemudian dengan cepat Amat ngesot kembali ke tempat semula. Kali ini dengan wajah kegagalan dan pucat yang masih mendera.


“Gimana Mad hasilnya,” tanya Ical yang padahal sudah tahu hasilnya apa. Jadilah kembali mereka semua tertawa lepas pada saat itu.


Sekali lagi terbukti bagi mereka. Bahwa pengalaman yang seperti itu saja, sudah cukup untuk menjadi satu dari ribuan kisah persahabatan yang tak terlupakan. Beberapa tahun ke depan masih saja bisa diingat. Pengalaman yang membuat warna. Masih banyak kisah untuk diabadikan.


Masa depan masih sangat jauh.


Bersambung – Part 3