Cerita ini diambil dari kisah nyata yang
sedikit dirubah untuk kepentingan publikasi. Mohon maaf jika cerita ini agak
lebay. Atau bahkan mengarah ke alay. Tapi percayalah. Bahwa ini adalah memori
yang terkenang sepanjang masa.
Keliling Jogja
Rombongan
tour itu masih di Jogja. Dan memang --saat tour ke Jawa-- mereka paling lama
berada di Jogja. Kasihan Raden harus menampung Amat dan rombongan yang bikin
penuh kamar kost-nya itu.
Tapi
ya sudahlah. Raden terlihat senang-senang saja. Rombongan pun senang menginap di
sana. Melanjutkan
perjalanan berkeliling Jogja. Ke Museum keraton Jogja, Situs Tamansari,
Parangtritis, Alun-alun Jogja, hingga Mall JCM pun didatangi.
Amat juga disambangi oleh temannya Supiana. Dia berkuliah
di Solo yang jaraknya sekitar satu jam dari Jogja. Cukup
jauh untuk seorang teman yang ingin bertemu teman sekampung halamannya.
Sehari
jalan-jalan di Jogja rasanya masih kurang puas. Harus beberapa hari. Karena
tempat wisata yang terkenal di Jogja itu tidak melulu ada di pusat jogja. Harus
rela berjalan jauh.
Seperti
Candi Borobudhur misalnya. Terkenalnya berada di Jogja. Tapi kenyataannya dari
Jogja sendiri membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai ke sana.
Amat dan teman-temannya bahkan sampai pergi ke Kota Semarang yang jarak tempuhnya kurang lebih tiga jam
--kalau menggunakan motor--. Mereka memang haus jalan-jalan ketika sudah berada di Pulau Jawa. Karena itu memang
tujuan mereka ke sana.
Saking
jauhnya berkelana, sangat terasa lelahnya. Pernah ada cerita menggelikan
yang terjadi di Semarang. Tepatnya ketika baru selesai berkeliling di
sana.
Karena
sampai di Semarang rombongan jalan-jalan ke Lawang Sewu, kemudian ke Masjid Agung
jawa Tengah. Tidak terasa sampai malam di jalanan.
Namanya
backpaker –hanya membawa tas yang digendong saja— yah tidak ada tempat istirahat untuk sekadar melepas penat dengan
berbaring.
Sedangkan
tubuh rasanya pegal semua karena lelah seharian jalan kesana-kemari. Sampai
akhirnya mereka mendapat tempat untuk sekadar duduk dan melepas penat.
Di
sebuah taman. Di tengah Kota Semarang. Yang lainnya asik duduk dan bercerita.
Amat yang sedari tadi sudah tidak tahan karena kelelahan, langsung berbaring di
pinggiran taman itu.
Amat
sudah tidak perduli lagi dengan teman-temannya yang asik bercerita. Dan memang
saat itu badannya terasa sangat nyaman ketika merebahkan diri.
Sungguh
nikmat. Serasa tulang belakang yang bengkok seharian langsung lurus seketika.
Saking nyamannya, Amat pun tertidur pulas.
Kondisi
itu tidak disia-siakan oleh teman-temannya. Jadi peluang menjahili Amat yang
saat itu tertidur pulas. Sekadar mencari tawa.
Amat
sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu. Ia sadar setelah seorang
gadis berparas cantik berkulit putih memanggilnya.
Walaupun
saat malam, tetapi penerangan di sana cukup baik untuk menerawang paras gadis
itu. Bagai mimpi. Amat sampai tidak ingat Ia sedang ada di mana.
“Mas,
mas, mas... bangun mas.” ujar gadis itu. Amat
yang waktu itu masih setengah sadar dan larut dalam lelapnya tidur menjadi
terkaget.
“Ada
apa mbak,” tanya Amat refleks.
“Itu
teman-temannya sudah pada pergi mas,” ujar gadis itu lagi. Amat langsung
menoleh ke kanan dan kiri. Ia mulai panik.
“Loh
kemana teman-teman saya mbak,” tanya Amat kembali. Gadis itu menunjuk ke arah
mereka pergi. Mungkin
bagi kalian yang membaca cerita ini dapat membayangkan. Betapa paniknya Amat
saat itu.
Mengingat
hanya sebatang kara di sana (Semarang). Keluarga pun tidak punya. Bahkan uang
yang dimiliki sudah hampir habis untuk biaya makan selama perjalanan.
Sampai-sampai
tidak terpikirkan pada saat itu kalau Ia punya handphone yang lengkap dengan
pulsa yang terisi cukup untuk menelepon teman-temannya.
Maklum.
Karena Amat saat itu masih terlalu lugu. Mungkin itu bahasa yang tepat untuk
menggambarkan suasana hatinya yang panik pada saat itu.
Pernah
juga, saking polosnya —tidak ingat apakah waktu itu Ia polos, bodoh, atau
kurang pengalaman -- terjadi kisah menggelikan lainnya.
Suatu
ketika, usai berjalan-jalan dan singgah di rumah makan sekitar Universitas
Diponegoro (Undip). Karena rumah makan tersebut berada dekat Kampus, maka
lumayan banyaklah mahasiswa yang makan di sana.
Mari
samakan persepsi terlebih dahulu. Bagi Anda yang berkuliah di Tarakan dan
jarang sekali ke luar daerah pasti akan mudah melakukannya. Coba
bayangkan hidup sehari-hari hanya melihat orang Tarakan saja. Kemudian
tiba-tiba pergi ke daerah Jawa.
Cobalah
pergi ke perkotaan atau di dekat kampus. Pastilah Anda kagum dengan kecantikan
mahasiswa yang ada di sana. Itulah
yang terjadi pada Amat. Melihat orang dengan gaya bicara yang berbeda, warna
kulit berbeda. Kebanyakan gadis di sana kulitnya putih. Tutur kata yang
berbeda.
Apalagi
di Jawa tengah yang notabene bahasanya halus. Garis wajah yang berbeda pula.
Perempuan tanah Jawa terkenal ayu. Pasti jelas berbeda dengan di Tarakan.
Jika
presepsi kita sudah sama, mari kita lanjutkan membaca paragraf berikutnya. Jika
belum silahkan baca ulang untuk menyamakan presepsi. Terima kasih.
Kemudian
Iwan dan Ical melemparkan challenge
(tantangan) pada Amat.
“Mat...
coba kamu minta nomor cewek itu," sembari menunjuk ke arah cewek yang
paling cantik di antara kerumunan gadis yang sedang makan di seberang meja
kami.
“Kalau
kamu berhasil dapat nomornya, kami traktir dan belikan hadiah yang kamu mau lah,”
ujar Ical yang didukung oleh Iwan di sampingnya.
“Iya mat... Beranikah kau,” timpal Iwan.
Mari
kita kembali samakan presepsi. Coba bayangkan Amat yang kondisinya waktu itu
kehabisan uang. Kemudian
mendapat tawaran yang menggiurkan. Dan Ia berpikir waktu itu; siapalah seorang
Amat. Biar saja malu. Toh tidak ada yang kenal juga.
Yang
terpenting saat itu adalah Ia bisa dapat makanan gratis sekaligus membeli
hadiah yang Ia mau. Tak terbesit rasa curiga pada Ical dan Iwan yang saat itu
mungkin hanya berniat lucu-lucuan.
Mungkin
juga mereka pikir Amat tidak berani. Sehingga Amat mau-mau saja. Jadi challange itu langsung diamini dan
dikerjakan oleh Amat.
Sedari
tadi para gadis itu sudah tidak nyaman dengan gelagat kami yang melihat ke
arahnya. Mungkin juga mereka dengar apa yang kami bicarakan. Tentang challange itu. Dengan
segera Amat datang dan menghampiri segerombolan gadis yang makan di seberang
meja mereka.
Tapi
ada kejanggalan di sana. Perlu diketahui, pada saat itu posisi warung makan
tersebut adalah lesehan. Tidak
perlu berdiri dari tempat duduk. Posisi mereka --rombongan gadis itu—sangat
dekat. Cukup ngesot saja sudah bisa
bergabung dengan para gadis itu. Jadilah saat itu Amat betul-betul ngesot ke meja tempat mereka makan.
“eee...
Permisi mbak,” ujar Amat sambil tergagap.
Gugup
karena hal se-gila itu baru pertama kali Ia lakukan. Seketika para gadis yang
asik ngobrol dan tertawa sebelumnya langsung hening. Salah
satu gadis langsung bertanya kepada Amat dengan ketus.
“Kenapa
mas. Ada perlu apa ya,” tanyanya dengan nada marah. Mungkin dia sudah tahu apa
tujuan Amat waktu itu. Amat
yang sudah menduga hal itu bertambah gugup dan berpikir entah punya ilmu apa
gadis itu sampai-sampai bisa tahu kalau Amat ingin minta nomor hanphone (HP)
temannya.
“eee...,”
hanya itu kata yang mampu keluar dari mulut Amat. Seolah buntu dan terdesak.
“Enggak
mas... Sudah ya. Kami enggak mau kasih,” jawabnya ketus. Seketika Amat bagai
disambar petir. Langsung pucat pasi. Tak tahu mau ngomong apa. Kemudian
dengan cepat Amat ngesot kembali ke
tempat semula. Kali ini dengan wajah kegagalan dan pucat yang masih mendera.
“Gimana Mad hasilnya,” tanya Ical yang padahal sudah tahu hasilnya apa. Jadilah kembali
mereka semua tertawa lepas pada saat itu.
Sekali
lagi terbukti bagi mereka. Bahwa pengalaman yang seperti itu saja, sudah cukup untuk
menjadi satu dari ribuan kisah persahabatan yang tak terlupakan. Beberapa
tahun ke depan masih saja bisa diingat. Pengalaman yang membuat warna. Masih banyak kisah untuk diabadikan.
Masa
depan masih sangat jauh.
Bersambung – Part 3